Saturday 15 August 2015

PASURUAN PERNAH MENJADI KIBLAT GULA DUNIA






Sejarah mencatat Kota Pasuruan di Jawa Timur pernah mendunia karena komoditas gula. Dari ladang dan pusat penelitian di kota inilah awal perubahan besar sejarah perkebunan di Jawa dan dunia dimulai. Seorang inspektur kepala pertanian zaman Hindia Belanda Ddr. IHF Sollewijn Gelpke ikut menentukan takdirnya.
Sisa kejayaan masa lalu itu masih tergambar dari sebuah gedung di permukiman lama di tengah kota Pasuruan . bangunan itu adalah gedung yang dibangun kembali di pengujung 1940-an, menggantikan gedung yang dibakar massa pada agresi militer pertama.
Pada zaman Hindia Belanda, gedung ini adalah kantor Proefstation Voor de Javasuikerindustrie atau Stasiun Penelitian Industri Gula di Jawa. Sekarang fungsinya masih sama, tetapi dengan papan nama baru, Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia(P3GI).
Lembaga ini adalah institusi penelitian gula tertua di dunia. Berkat perannya di masa lalu, lembaga ini kini menjadi markah sejarah bagi Kota Pasuruan. Ceritanya berangkat dari kegelisahan dan keprihatinan Gelpke tentang permasalahan industri gula. Melalui artikelnya yang di harian De Locomotive, Gelpke mendesak pendirian pusat lembaga penelitian gulaa di Jawa.
Sejak saat itu, beberapa lembaga penelitian gula bermunculan. Tak hanya di Pasuruan(Proefstation Suikerrt Oost Java), tetapi juga di Semarang (proefstation Hed Midden Java), dan di Tegal (Proefstation Suikerrt   in Wes Java).

Gedung Proefstation voor de Java-suikerindustrie Di Pasuruan

Sekitar awal 1880-an, industri gula di Jawa sempat geger karena produksi gula dunia melebihi tingkat konsumsinya, yang berdampak pembatasan produksi. Sementara daya saing rendah karena kualitasnya masih di bawah  standar dan diperparah mewabahnya hama sereh. Ciri tebu yang terserang hama ini terdapat tutul – tutul pada daun dan batang tumbuh pendek. Daun melipat memanjang, mengerdil dan menyempit.
Direktur P3GI Aris Toharisman menyebutkan, Proefstation awalnya dibangun untuk menyelamatkan Pabrik gula yang saat itu di ambang kebangkrutan. Hal itu terbukti di kemudian hari. Pada 1921, misalnya, Proefstation bisa menemukan varietas POJ 2878 yang tahan terhadap penyakit sereh.
Penemuan ini menjadi kesuksesan besar untuk industri gula di Jawa dan dunia karena varietas ini juga mempunyai tingkat produktivitas yang tinggi. Varietas ini menyebar ke perkebunan tebu di penjuru dunia. Sampai hari ini, di perkebunan tebu Columbia masih mengadopsi hasil pemuliaan tebu Pasuruan.
Setelah itu, negara penghasil gula bergabung dalam wadah International Society of Sugar Cane Tehnologists (ISSCT) pada 1924. Asosiasi ini berkomitmen dalam peningkatan ekonomi dan kemajuan industri gula dunia. Pada 1986, peserta kongres ISSCT mengunjungi Pasuruan sebagai agenda kegiatannya. seperti nostalgia,kunjungan ke Pasuruan mengingatkan mereka bahwa untaian asal – usul tanaman tebu yang telah mereka kembangkan berasal dari kota kecil di Indonesia ini.
Namun, ironis kondisi pergulaan di Indonesia kini terpuruk. Pada 1930, Indonesia menghasilkan 2,9 juta ton gula pertahun hanya dengan luas areal tanam tebu sekitar 196.500 hektar. Dengan rendemen 11,5 persen, produktivitas gula per hektar (ha) mencapai 14,7 ton.
Produksi gula Indonesia pada 2012 adalah 2,5 juta ton dengan luas areal mencapai 451.000 ha dan tingkat rendemen 6 persen  ini artinya dari setiap satu ton tebu yang digiling hanya diperoleh 60 kilogram(kg) gula pasir.
Ketua Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia Arum Sabil mengakui, di masa Orde Baru Pasuruan menjadi model bagaimana lembaga riset bersinergi dengan pabrik gula dan petani tebu rakyat. Kapasitas pabrik di sesuaikan ketersediaan dan tingkat produktivitas lahan. ‘’Sehingga tak ada istilah idle capacity di pabrik gula,’’ katanya.
Hal itulah yang membuat produksi tebu di Pasuruan pada era sebelum kemerdekaan hingga Orde Baru mencapai 120 ton per ha dengan rendemen 12 – 14 persen. Kini, produksi tebu di sana hanya berkisar 80 ton per ha dengan rendemen 6 – 7 persen.
Nasib P3GI
Seiring perjalanan waktu, nasib P3GI makin suram. Pada masa Orde Baru, P3GI bisa fokus melakukan riset karena memiliki sumber pendanaan yang mapan. Awalnya, penelitian didanai oleh pabrik gula sebesar 1,36 persen dari total biaya produksi. Setelah dinasionalisasi, lembaga ini tetap didanai iuran pabrik gula.
Bahkan, pada 1985 P3GI mendapatkan bantuan dana dari kementerian keuangan sebesar Rp 2 miliar. Lima tahun kemudian, dana ini ditambah menjadi Rp 3,5 miliar atau 50 persen anggaran P3GI saat itu.
Pada 1999, saat Bulog tidak lagi membeli tebu dari Petani, sumber dana P3GI dari pemerintah dihapus. P3GI hanya mendapat bantuan dari Asosiasi Penelitian Perkebunan Indonesia (APPI) dengan porsi yang terus berkurang.
Hal ini yang membuat P3GI dibelit persoalan finansial. kebutuhan operasional riset tak lagi dapat dibiayai. Sebagai gambaran, untuk riset satu varietas tebu unggulan diperlukan biaya Rp 2 miliar per tahun. Padahal dibutuhkan waktu 8 – 12 tahun untuk menetaskan satu varietas. Saat varietas           itu dirilis dan digunakan petani, P3GI tidak memperoleh royalti.
Akibatnya, sjak 2007 P3GI mengalami defisit karena tak cukup dana untuk membiayai kebutuhan penelitian. Akumulasi deifisit hingga 2013 memncapai Rp 71 miliar. Perusahaan berutang dari santunan hari tua karyawan dan insentif kerja sana untuk karyawan.
Pada 2012, misalnya, pengeluaran perusahaan P3GI mencapai Rp 58 miliar, dan Rp 25 miliar di antaranya untuk biaya gaji serta santunan pegawai. Karena mengalami defisit Rp 20 miliar pada tahun itu, perusahaan harus menunggak pembayaran santunan karyawan.
P3GI kini seolah berada di titik nadir. Mereka harus berjibaku menghidupi perusahaan. Direksi menyiasati hal ini dengan merampingkan jumlah karyawan dan memprioritaskan bisnis sehingga fungsi riset sedikit terabaikan.
Saat ini, P3GI memiliki 180 karyawan, termasuk 50 peneliti. Jumlah ini menyusut dari tahun ke tahun. Pada 1989, misalnya,  P3GI memiliki 400 karyawan, termasuk 70 peneliti. ‘’Dulu rasio satu peneliti bisa ditunjang oleh lima hingga enam pekerja lain. Saat ini hanya satu banding tiga,”kata Aris.
Aris mengakui, kejayaan P3GI yang dulu mendunia kini memudar. “Kami dianggap perusahaan swasta sehingga tak bisa menerima bantuan APBN dan harus membiayai riset sendiri,” ucapnya lagi.
Kendati demikian, sejumlah negara tetap mengakui Indonesia sebagai pusat riset tebu ternama. Sebagian bibit tebu yang ditanam di Brasil dan Meksiko, misalnya, berasal dari Pasuruan. Peneliti di Okinawa, pusat penelitian gula di Jepang, juga menganggap guru yang paling hebat dalam mengawinkan tebu adalah di Pasuruan.



Oleh Harry Susilo dan Gatot Widakdo







No comments:

Post a Comment